Sulastri dan empat lelaki
Saat membaca sebuah cerpen berjudul Sulastri dan Empat lelaki yang ditulis oleh M. Shoim Anwar merupakan sebuah bentuk karya sastra yang penuh nilai kehidupan didalamnya terdapat lika-liku kehidupan entah tentang masalah duniawi atau akhirat sehingga memiliki nilai tersendiri untuk ditelisik sang Sulastri tersebut. Dari judulnya pun kita dibuat bingung dan cemas layaknya menunggu siaran SDSB di radio. Sulastri tersebut apakah seorang gadis manis yang sedang berjuang bersama pujaan hatinya atau seorang hamba sahaya yang mengharapkan keadilan. Sungguh kita dibuat bertanya-tanya entah mau bertanya kepada siapa yang terpenting bacalah dengan seksama.
Dalam Karya sastra hendaklah mengandung sebuah unsur ambiguitas. Sehingga didalam unsur tersebut dapat menjadi sebuah daya tarik tersendiri bagi sebuah karya sastra tersebut, bukan hanya itu didalam unsur ambiguitas itu sendiri mampu menarik pembaca terbelenggu dalam jurang kebimbangan serta dapat membuat bertanya-tanya. Dalam cerpen Sulastri dan Empat Lelaki sendiri diceritakan seorang perempuan bernama sulastri yang berdiri diatas tanggul Laut Merah sambil mentapnya penuh kegalauan. Sulastri naik hingga melewati patung-patung yang berderet rapi ditepi laut. Sulastri pun terus berjalan menulusuri arus laut entah apa yang mau dibuatnya tatkala melihat kebawah. Sulastri gemetar saat menatap kebawah sambil menyapa gelombang yang datan. Dari kejahuan ada sseseorang laki-laki perawakan gagah menyapa Sulastri dari sebuah bilik tempat laki-laki tersebut ngepam. Sulastri enggan menyapa balik laki-laki tersebut, nampak sinis pula wajah Sulastri layaknya melihat mantan kekasih bergoncengan dengan pacarnya. Laki-laki tersebut merupakan sebuah abdi Negara. Laki-laki tersebut nampaknya ingin mencegah hal-hal yang tidak diharapkan terjadi, maka dari itu laki-laki tersebut negoisasi dengan Sulastri. Polisi tersebut kemudian memberi sebuah tawaran lagi, tetapi Sulastri tetap menolak dan menolak. Akhirnya kejar-kejaran pun terjadi bak seperti film tom and jerry, bukan hanya itu juga meminta bantuan kepada para mafia untuk mengawasi gerak-gerik Sulastri beserta gengnya tersebut. Dari hasil pemalakan yang dilakukan mafia itu 700 real per orang diberikan kepada polisi tersebut sisanya untuk mafia pemalak tersebut. Otak polisi lebih cerdik hingga mudah menyetut para mafia sehingga mereka mudah diatur dan dikendalikan.
Namun pada dasarnya Sulastri juga cerdik layaknya Mikhail Tal akhirnya dapat menjauh dari polisi tersebut. Kemudian saat Sulastri berdiri diposisi awal ia teringat masalalunya yang kelam dengan Markam. Markam merupakan suami dari Sulastri tetapi Markam tidak mencerminkan seorang kepala rumah tangga, oleh sebab itu hidup Sulastri dan anak-anaknya jadi terlantar. Betapa tersiksanya batin seorang Sulastri yang lahir sebagai perempuan dimana kodrat seorang perempuan itu dilindungi bukan melindungi, karena tidaklah afdhol tulang rusuk menjadi tulang punggung yang layak dinafkahi secara lahiria maupun batinia. Markam lebih memilih untuk tapa brata layaknya resi Wisrawa entah apa yang ada dalam fikirannya. Sebuah kegiatan yang bersifat sepiritual namun kurang bijak dalam menyikapi langkah seperti itu dikarenakan memiliki tanggung jawab pada anak dan istrinya. Disaat bayangan tentang Markam mulai memudar Sulastri kaget melihat sesosok laki-laki dengan badan dempal, otot-otonya kekar, dan perkasa, layaknya Raden Gatot kaca putra Bima dengan dewi Arimbi yang dikenal dengan otot kawat tulang besi. Sulastri ketakutan dengan laki-laki tersebut yang bernama Firaun. Sulastri yang berlari terus di kejar sang Firaun hingga berada tepat ditengah-tengah pengejaran tersebut mencullah seorang laki-laki dengan baju puith, berjenggot, dan dengan tongkat yang dikenal dengan Musa. Dari sini kita diajak oleh penulis untuk berfikir lebih dalam dan diajak pula larut dalam kubangan rasa penasaran, sosok Musa tersebut apakah sosok Musa yang sering diceritakan Romo kyai atau pak Ustad dalam acara muslimat yang dapat membelah laut serta merubah tongkat menjadi ular, atau kah Musa yang lain saya pun tidak faham. Sulatri mencoba meminta tolong kepadanya. Namun, musa memberikan isyarat tidak dapat membantunya dan kemudia si Musa pun hilang begitu saja.
Akhirnya Sulastri pun tertangkap juga oleh Firaun. Tubuhnya pun lemas dan kehilangan kesadaran. Tiba-tiba sosok Musa muncul kembali dengan tongkat ditangannya. Kemudia Sulastri seolah-olah mendapat sebuah kekuatannya kembali. Disodorkan tongkat sang Musa tersebut kepada Sulastri. Sulastri pun memukulkan kepada Firaun, dan Firaun pun hancur berkeping-keping. Kemudian Sulastri pun sadar dari tidur dan mendapati dirinya di bibir pantai laut merah.
Adapun juga dalam cerpen tersebut menceritakan perempuan mengalami bentuk kekerasan. Ada beberapa kekerasan yang dialami oleh Sulastri. Kekerasan tersebut ialah kekerasan secara fisik. Kekerasan fisik sendiri yang dialami ialah ketika Sulastri saat tertangkap oleh Firaun dan rambutnya ditarik hingga jebol. Hal tersebut menunjukan bahwa perempuan seringkali mengalami bentuk kekerasan fisik. Tidak hanya dalam cerpen tersebut dalam kehidupan nyata pun sering terjadi dalam kehidupan nyata kekerasan tersebut dapat terjadi melalui bentuk fisik maupun kekerasan verbal. Untuk keseluruhan cerpen itu sendiri dapat ditangkap sebuah makna bahwa dominasi laki-laki begitu kuat. Lihat saja seperti polisi yang seorang laki-laki, Markam, dan Firaun yang seorang laki-laki, serta Musa seorang laki-laki pula. Sungguh laki-laki begitu mendominasi dalam cerpen tersebut. Lihatlah juga dalam kehidupan nyata presiden kita yang mulai dari yang pertama hingga saat ini, kebanyakan adalah laki-laki, dan hanya ada satu perempuan. Dalam cerpen itu sendiri menunjukan bahwa Seorang perempuan selalu dibawah dominasi laki-laki. Perempuan sebagai objek yang tidak berdaya dan dibawah bayang-bayang laki-laki. Begitulah kiranya ketika mencoba membaca cerpen tersebut dengan membaca sebagai perempuan. selain itu ada sudut pandang lain yang bisa ditemukan. Sebuah sudut pandang yang menarik.
Dapat diartikan sebenarnya tokoh Polisi, Markam, dan Firaun, serta Musa merupakan sebuah makna simbolik belaka. Dapat diartikan sebagai gambaran tentang empat bentuk nafsu yang ada pada manusia. Maka dari itu seseorang dalam menjalani hidup harus memahami empat hal dalam hidup yang diartikan dalam istilah jawa yaitu macapat. Yang pertama yaitu Maskumambang yaitu dimana seseorang awal di turunkan masih berbentuk ruh. Kemudian yang kedua yaitu mijil dimana mulai dimasukkan zat-zat berbentuk cairan yang dimasukkan kedalam rahim biyung, ketiga hal tersebut yaitu kinanti dimana seseorang yang mulai tumbuh dan berjalan yang diibaratkan anak kecil yang masih ingin belajar dan belajar. Yang keempat yaitu sinom dalam hal ini diibaratkan seseorang yang mulai menginjak masa muda yang mulai mencari jati diri, sejatinya hidup itu bagaimana dan mulai diajarakan untuk mengenal sang lillah, selanjutnya yaitu asmaradhana yang dapat diibaratkan dan dikaitan dalam cerpen ini yaitu setelah melewati fase muda seseorang akan merasakan asmara yang penuh dengan lika-liku percintaan. Keenam gambuh dan ketujuh yaitu Dhandanggula dapat diibaratkan seseorang dalam menjalani hidup dapat mengendalikan nafsu dan cepat-cepatlah berhijrah tidak hanya menetap pada suatu lingkungan, bukan hanya lingkungan yang kelam tetapi juga ndang berpindah ke lingkungan yang dapat mengenalkan kepada Tuhan. Kedelapan yaitu durma diibaratkan bahwa akan memliki sifat belas kasih sesama, kesembilan yaitu Pangkur disini diartikan bahwa sejak pangkur ini seseorang akan mungkur. Kesepuluh yaitu megatruh yaitu diibaratkan putusnya atara raga dan sukma dan terakhir yaitu pucung pada akhirnya manusia akan di pocong. Hal tersebut dengan dikenal sangkan paraning dumadi oleh orang jawa.
ada cerpen tersbut ialah sudut pandang religi. Bagi mereka yang suka dengan nilai-nilai religi cepen ini sangatlah cocok. Untuk keseluruhan, cerpen ini kaya akan makna. Cerpen ini bisa digali dengan berbagai macam sudut pandang. Alur yang dibawahkan juga begitu menyenangkan maju-mundur-maju lagi. Sebuah kombinasi yang menyenangkan. Latarnya juga bagus yaitu bengawan solo dan laut merah. Bisa diibaratkan juga bengawan solo adalah lambang orang yang mencari ilmu dan laut merah adalah lambang dari sumber ilmu. dari tokoh laki-laki tersebut yaitu memiliki sifat tamak, angkuh, sombong, dan iri sehingga dapat pula dijabarkan luas seseorang dalan hidupnya hendalah dapat menjaga sembilan lubang yang ada pada badan serta lebih berserah diri pada sang pencipta agar dapat bertemu guru sejati dan mengerti arti sejatinya hidup itu apa dan hidup akan kembali kepada siapa.
Komentar
Posting Komentar