Postingan

Menampilkan postingan dari Maret, 2021

ABIYASA GURU YANG MULIA

  Puisi  "Ulama Abiyasa Tak Pernah Minta Jatah" Karya: M.Shoim Anwar Pada puisi ini memilik 4 bait. Bait 1 memiliki 8 baris, Bait 2 memiliki 6 baris, Bait 3 memiliki 7 baris, bait 4 memiliki 9 baris.  Pada bait 1 memiliki makna bahwa seseorang yang menjadi panutan, mampu menjadi cagak bagi bangunan yang terlihat didunia ini, tidak pernah haus akan kekuasaan maupun harta yang ada didunia hingga lupa jalan pulang, tidak pernah diperalat oleh penguasa-penguasa yang gila jabatan, tidak pernah meminta belas kasih para pejabat negeri beliau juga tidak terpukau melihat kekayaan istana, teguh dalam kebenaran yang membuatnya tak getar dalam menghadapi marah bahaya yang datang. pada bait 1 jika dikaitkan dengan kehidupan nyata yakni seperti seorang rakyat biasa yang hidup secukupnya selalu bersyukur atas nikmat yang telah di beri sang maha kuasa, tidak pernah berputus asa walaupun hidup terkadang tak semulus sirkuit sentul, yang diharapkan hanya kebijaksanaan para petinggi-petinggu...

Ulama Durna Ngesot Ke Istina

  Pada puisi yang berjudul Ulama Durna Ngesot Ke Istana karya M.Shoim Anwar memiliki 4 bait. Pada bait ke-1 terdapat 7 baris, bait ke-2 terdapat 8 baris, bait ke-3 terdapat 10 baris, dan bait ke-4 terdapat 12 baris. Pada setiap baris memiliki kata yang bermakna berkaitan dengan kehidupan nyata saat ini. Berikut ini penjabaran makna pada setiap baris puisi Ulama Durna Ngesot Ke Istana :       ¤Pada baris 1 hingga 4memiliki makna             bahwa dalam dunia ini layaknya panggung                   sandiwara yang dipermainkan para kaum sosial. Mereka bermain sangat lihai bak menari atas gelanggang demi pengakuan khalayak umum.      ¤Pada baris 5 hingga 7 memiliki makna             bahwa mereka juga punya rumus entah itu rumus kehidupan maupun rumus pecitraan. Mereka juga meracik skenario hingga terlihat mengsankan dalam publik itu ...

DURSASANA PELIHARAAN ISTANA”

 Dalam karya tersebut ditelisik berdasarkan nilai sosial, moral dan religius dijelaskan bagaimana kekejaman petinggi istana yang sudah tidak lagi ada rasa belas kasihnya,  yang ada hanya nafsu, nafsu dan nafsu,  semuanya dilibas rata kerikil-kerikil yang mengganggu jalannya, sudah tidak ada rasa iba terhadap yang lemahh, lalu untuk apa sumpah yang telah diujarkan yang ujung-ujungnya hanya berterbangan layaknya kembang tebu yang tertiup angin. Penulis mengisahkan gambaran yang jelas yang digambarkan dalam secuil kulit yang diukur yang menjadikannya sebuah seni sebagai perawakan yang jelas bagaimana politik-politik yang terpupuk sejak jaman nenek moyang dan segalanya tersusun rapi dan tersetruktur bak bermain dalam bidak catur. Karya tersebut bahasanya cukup jelas dan tepat sehingga mudah dipahami oleh pembaca dan mudah ditelisik pesan yang di amanatkan.