Pusi Taufik Ismail
Puisi merupakan sebuah alat untuk mengekspresikan diri dari apa yang terjadi yang dialami oleh pengarang maupun hasil dari sikap simpati maupun empati dalam lingkungan sekitar pengarang. Dapat pula dikatakan sebagai olah rasa, karsa serta aksa sehingga dapat mewujudkan citra tersendiri dalam setiap baitnya.
Dari berbagai ruang lingkup yang dilalui seorang penyair tentunya memiliki ciri khas tersendiri ada yang bernuasa romantis, keagamaan, sosial, maupun problematik kritik terhadap pemerintahan saat itu. Sehingga puisi tersebut akan mendapat atau memperoleh kekuatan tersendiri. Misal, Tufik Ismail dengan Judul Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia . Taufik Ismail sendiri dikenal dengan tokoh pelopor angkatan 66. Tokoh yang berulang tahun 25 Juni nanti merupakan tokoh yang banyak gelar dan penghargaan. Puisi-puisinya penuh dengan kritik yang tajam dan jujur menceritakan sesuatu yang sedang terjadi sesuai keadaan semestinya/fakta. Dalam puisi tersebut Taufik Ismail mmencurahkan keresaan yang dirasakannya. Taufik Ismail menceritakan secara rinci dan gamblang. :terutama pada pendidikan yang semestinya pendidikan adalah gudangnya ilmu pengetahuan serta penanaman moral yang sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945, namun nilai tersebut dikotori oleh fikiran-fikiran yang hanya memikirkan untung-rugi.
Ketika di Pekalongan, SMA kelas tiga
Ke Wisconsin aku dapat beasiswa
Sembilan belas lima enam itulah tahunnya
Aku gembira jadi anak revolusi Indonesia
Negeriku baru enam tahun terhormat diakui dunia
Terasa hebat merebut merdeka dari Belanda
Sahabatku sekelas, Thomas Stone namanya,
Whitefish Bay kampung asalnya
Kagum dia pada revolusi Indonesia
Dia mengarang tentang pertempuran Surabaya
Jelas Bung Tomo sebagai tokoh utama
Dan kecil-kecilan aku nara-sumbernya
Dadaku busung jadi anak Indonesia
Tom Stone akhirnya masuk West Point Academy
Dan mendapat Ph.D. dari Rice University
Dia sudah pensiun perwira tinggi dari U.S. Army
Dulu dadaku tegap bila aku berdiri
Mengapa sering benar aku merunduk kini
Dalam kutipan tersebut merupakan sebuah rasa kebanggan dan cinta tanah air yang tertuangkan dalam bait aku gembira menjadi anak revolusi Indonedia. Rasa bangga tersebut bukan hanya tertuang pada bait itu, tetapi kecintaan dan ilmu sejarah pengarang yang dalam yang faham akan sebuah peristiwa pertempuran Surabaya yang merupakan sebuah cikal-bakal pembenrontakan Bung Tomo yang hanya bersenjatakan bambu mampu merobek warna biru di hotel majapahit. Meskipun hasilnya memuaskan banyak korban jiwa dalam peristiwa pertempuran Surabaya tersebut.penuh rasa bangga diungkapkan oleh penyair pada kutipan puisi tersebut. Dalam berjalannya waktu berjalannya era rasa kencintaan terhadap NKRI pun mulai memudar akibat pergaulan dan pendidikan, entah bagaimana itu bisa terjadi yang tadinya seorang nasionalis berubah haluan.
Langit langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak
Hukum tak tegak, doyong berderak-derak
Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak,
Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza
Berjalan aku di Dam, Champs Elysees dan Mesopotamia
Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata
Dan kubenamkan topi baret di kepala
Malu aku jadi orang Indonesia.
III
Di negeriku, selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomor
satu,
Di negeriku, sekongkol bisnis dan birokrasi berterang-terang
curang susah dicari tandingan,
Di negeriku anak lelaki anak perempuan, kemenakan, sepupu
dan cucu dimanja kuasa ayah, paman dan kakek secara
hancur-hancuran seujung kuku tak perlu malu,
Di negeriku komisi pembelian alat-alat besar, alat-alat ringan,
senjata, pesawat tempur, kapal selam, kedele, terigu dan
peuyeum dipotong birokrasi lebih separuh masuk
kantung jas safari,
Di kedutaan besar anak presiden, anak menteri, anak jenderal,
anak sekjen dan anak dirjen dilayani seperti presiden,
menteri, jenderal, sekjen, dan dirjen sejati, agar
orangtua mereka bersenang hati,
Di negeriku penghitungan suara pemilihan umum sangat-
sangat-sangat-sangat-sangat jelas penipuan besar-
besaran tanpa seujung rambut pun bersalah perasaan,
Di negeriku khotbah, surat kabar, majalah, buku dan
sandiwara yang opininya bersilang tak habis dan tak
putus dilarang-larang,
Di negeriku dibakar pasar pedagang jelata supaya berdiri pusat
belanja modal raksasa,
Di negeriku Udin dan Marsinah jadi syahid dan syahidah,
ciumlah harum aroma mereka punya jenazah, sekarang
saja sementara mereka kalah, kelak perencana dan
pembunuh itu di dasar neraka oleh satpam akhirat akan
diinjak dan dilunyah lumat-lumat,
Di negeriku keputusan pengadilan secara agak rahasia dan tidak
rahasia dapat ditawar dalam bentuk jual-beli, kabarnya
dengan sepotong SK suatu hari akan masuk Bursa Efek
Jakarta secara resmi,
Di negeriku rasa aman tak ada karena dua puluh pungutan, lima
belas ini-itu tekanan dan sepuluh macam ancaman,
Di negeriku telepon banyak disadap, mata-mata kelebihan kerja,
fotokopi gosip dan fitnah bertebar disebar-sebar,
Di negeriku sepakbola sudah naik tingkat jadi pertunjukan teror
penonton antarkota cuma karena sebagian sangat kecil
bangsa kita tak pernah bersedia menerima skor
pertandingan yang disetujui bersama,
Di negeriku rupanya sudah diputuskan kita tak terlibat Piala
Dunia demi keamanan antarbangsa, lagi pula Piala
Dunia itu cuma urusan negara-negara kecil karena Cina,
India, Rusia dan kita tak turut serta, sehingga cukuplah
Indonesia jadi penonton lewat satelit saja,
Di negeriku ada pembunuhan, penculikan dan penyiksaan rakyat
terang-terangan di Aceh, Tanjung Priuk, Lampung, Haur
Koneng, Nipah, Santa Cruz, Irian dan Banyuwangi, ada pula
pembantahan terang-terangan yang merupakan dusta
terang-terangan di bawah cahaya surya terang-terangan,
dan matahari tidak pernah dipanggil ke pengadilan sebagai
saksi terang-terangan,
Di negeriku budi pekerti mulia di dalam kitab masih ada, tapi dalam
kehidupan sehari-hari bagai jarum hilang menyelam di
tumpukan jerami selepas menuai padi.
Rasa malu pun mulai bertebaran dimana-mana bagai bangkai tikus-tikus got. Segalanya dirubah, tetapi kewajiban tetaplah menjadi sebuah kewajiban dan hak rakyat hanya dibayar omong kosong tanpa sebuah isi. Semua peraturan telah rusak akibat sebuah sistem entah siapa yang menjalankan sistem tersebut tiada yang tahu, bermainya sangat rapi dan mulus tanpa celah tanpa bekas sehingga sulit dilacak itu lah sistem yang terjadi di negara kami. Itu semua belum berakhir dimana yang banyak duit dapat mebelinya intinya semua adalah mafia tidak ada lagi kawan, saudara, bahkan sedarah oun rela di kong kali kong itu lah Indonesiaku, yang tak punya kenalan pun secepatnya akan musnah. Dikarenakan dalam pemikiran kami memegang asas kekeluargaan. Hancur sudah negara ini dimana negara yang ditukarkan dengan nyawa di nodai oleh kepentingan sepihak saja dan itu semua tertanamkan dalam benak si kecil. Entah siapa yang salah dan siapa yang benar semua tidak tahu yang terpenting bagaimana meneruskan hari esok dengan sesuap nasi dan segelas air pun cukup, tidak ingin banyak ancaman dari sebuah pembantahan sistem terdebut yang berimbas pada keluarga. Semuanya telah rusak dan rusak dirusak para mafia-mafia biadap yang tak mengenal asas pancasila yang dirumuskan para pendahulu kita. Kini yang tersisa hanya bekas perjuangan tanpa suatu kemerdekaan memang sudah tak terjajah tetapi secara moral, prinsip dan hak telah di rampas dan dipenjarakan dalam sebuah gunung dandaka.
Hal yang menarik dari puisi ini puisi ini dapat dijadikan sebuh pembelajaran dan pengalaman di masa lampau hingga saat ini bahkan seterusnya samapai sistem seperti ini berkahir, serta sebagai daya dobrak bagi generasi muda agar terbuka hatinya dan mau menengok kebelakang agar mendapatkan kemerdekaan sesungguhnya dan dalam tempo yang selamanya.
Komentar
Posting Komentar